Abdullah Hamdani Husain
Untuk seorang
kawan, A.
“Lihat aku!
Dengarkan aku! Tidak ada yang melihat dan mendengarku. Hanya ada diriku
sendiri.”
Dia merasa
sesak. Alat bantu pernafasan yang melekat pada wajahnya membungkam hidung dan mulutnya.
Meskipun itu adalah kunci baginya untuk tetap hidup, dia merasa itu adalah
belenggu yang memaksanya merasakan sesuatu yang seharusnya begitu alami tapi
juga menyengsarakan.
“Bernafas
adalah kegiatan yang menyakitkan,” bisiknya dalam hati, tatapannya kosong
menghadap langit-langit. Dia bertanya pada dirinya sendiri, mempertanyakan arti
hidup saat itu. Alat pernafasan terus bekerja tanpa ampun, memaksanya untuk
menghirup dan menghembuskan udara meskipun rasanya seperti menusuk hatinya.
“Tapi, kalau tidak melakukannya aku tidak akan
bisa bertahan hidup. Apakah hidup itu semerepotkan ini?” batin gadis itu,
dengan perasaan yang campur aduk.
"Apa surga
itu tempat aku bisa bernafas dengan bebas?” Dia menghela nafas dalam-dalam,
meskipun lebih mirip dengan mengumpulkan keberanian untuk menghadapi kenyataan
yang membingungkan.
“Apa neraka itu
tempat yang lebih menyakitkan daripada sekarang? Kalau memang begitu, bukankah
itu sungguh menakutkan?" pikir gadis itu.
Di hari yang sama
seperti sebelumnya, di waktu manusia bekerja giat terus menerus sepanjang
waktu, di zaman ketika manusia menamai segalanya. Ada seorang gadis yang tidak
pernah disebut namanya, karena nama hanya untuk manusia dan hal yang disukainya.
Gadis itu
sendirian, di atas ranjang putih terbungkus selimut putih, menatap gorden kumuh
di depannya. Tidak ada yang bisa menyegarkan mata di tempat ini, mungkin hanya
lampu di tengah ruangan yang sudah lelah menyala, atau jam yang tidak lagi
berdetak.
Gadis itu menarik
nafas panjang, menahannya beberapa detik lalu menghembuskannya. Tangan kirinya
sedari tadi terdiam di atas ranjang—tidak ada pergerakan sama sekali. Tangan
kanannya bergerak menemui lengan kirinya, memberikan elusan ringan. Gadis itu
tahu, beban tangan kirinya terlalu berat, dia harus menanggung jarum berukuran
satu per tiga mm. Tetes demi tetes air memaksa masuk ke dalam pembuluh
darahnya, memberikan ketegangan dan efek panas berlebih di seluruh tubuh gadis
itu. terhitung 60 menit untuk jatah waktu 600ml leucoverin memaksa masuk
pembuluh darahnya. Tidak ada siapa pun, tidak ada yang lain.
Gadis itu mulai
memikirkan kota tanpa ada dirinya: murid pergi ke sekolah seperti biasanya,
anak kecil pergi ke lapangan untuk bermain, orang dewasa pergi ke kantor
sebagaimana adanya, ibunya akan tetap berada di bawah tanah, dan ayahnya yang
akan makan sarapan dengan tenang seperti yang dilakukannya setiap hari. Memikirkan
hal itu, gadis itu merasa lega. Dia ingin pergi, segera pergi ke tempat yang jauh,
tempat yang paling jauh.
Lampu yang sejak tadi berjuang untuk tetap menyala, akhirnya mati.
Gadis itu mengucapkan dengan lirih, "Apakah ini saatnya bagiku untuk
menyerah dan pergi?"
Bahunya digapai oleh seseorang.
Gadis itu
melirik ke samping, melihat bayangan siluet. Enam detik berlalu, dan lampu yang
telah padam kembali menyala. Di sampingnya berdiri seorang pria dengan setelan
jas hitam. Pria itu mengatakan satu kata:
“Hai.”
Gadis itu sedikit
menoleh, memerhatikan bagaimana rupa seseorang di sampingnya. Gadis itu
berpikir bahwa pria di sampingnya telah menghadapi berbagai macam masalah. Dua
belas detik berlalu, tidak ada perubahan, hanya lampu yang sesekali menderap.
“Fira, namamu
adalah Syafira!” Pria itu mengucapkannya dengan tegas, memecah keheningan.
Gadis itu terperanjat, baru kali ini ada seseorang yang menyebutnya dengan
nama.
“Aku di sini
untuk membantumu, aku akan merawatmu dan menjagamu,” lanjut pria itu.
Gadis itu
terengah-engah. Dia mencoba berbicara setelah berkali-kali menghirup nafas.
“Tenangkan
dirimu gadis manis,” kata pria itu sembari mengeluskan tangannya sampai dekat
di tempat jarum menancap.
Setelah
mengambil beberapa kali nafas panjang, gadis itu memberanikan diri bertanya, “Apakah
kau akan memakanku?” perasaannya waswas dan siaga terhadap apa pun di sekitarnya.
“Aku tidak akan
memakanmu,” jawab pria paruh baya itu.
“Tidak, aku
tidak mau,” ujar gadis itu sedikit membentak, yang membuat nafasnya tidak beraturan.
Setelah
mengambil nafas panjang, gadis itu mengatakan dengan patah-patah, “Semua orang
sama saja, kau tidak bisa memanfaatkanku. Aku hanya anak haram yang akan terus mendapat
nasib buruk. Lebih baik aku di sini saja.” Gadis itu merengek sambil mengembalikan
pandangannya ke arah langit-langit ruangan.
Pria itu menurunkan
kepalanya dan menggenggam tangan kanan gadis itu, lalu menempatkannya di atas
dada gadis itu. “Jika aku meninggalkanmu di sini, apakah yang akan kau
lakukan?”
“Aku hanya akan
menunggu di sini dan menanti takdir?” jawab gadis itu.
“Kau mendapat
perlakuan seperti itu, dan masih percaya takdir?” balas pria itu dengan lembut.
Suaranya datar namun berat, menciptakan situasi yang membingungkan untuk gadis
itu.
“Ehmm... mungkin
aku akan segera pergi jauh untuk mencari ibuku, aku akan bertanya kepadanya,
lalu hidup tenang tanpa ejekan anak haram,” ucap gadis itu dengan pandangan ke
arah tangan kanan yang berada di atas dadanya. Namun matanya tidak menatap
sesuatu, tatapan kosong. Dia tidak yakin tentang apa yang dikatakannya.
“Apa kamu tahu
di mana ibumu tinggal? Bukannya kau bilang kau akan mencari ibumu?” tanya pria
itu, tatapannya tajam ke mata gadis itu.
“Ya, tapi aku
tidak tahu apakah dia benar-benar di sana menungguku, atau sudah pergi jauh
meninggalkanku seperti ayahku. Aku hanya ingin mencarinya. Setidaknya aku akan
berusaha.” Mata gadis itu berbinar.
“Jadi bagaimana
caramu mencarinya? Apa kau punya ingatan tentangnya?” balas pria itu tajam,
kalimatnya cepat dan jelas, tidak ada keraguan di dalamnya.
“Tidak ada,”
jawab gadis itu, tangannya bergetar, dia takut.
“Jadi? Kau tahu
bagaimana wajahnya? Apakah kamu punya fotonya?” Pria tersebut tidak memedulikan
ketakutan gadis itu, dia mengejarnya dengan pertanyaan dengan nada sama.
“TIDAK!” Kata gadis
itu tegas, mulutnya tersendat. “Aku tidak tahu pasti.” Dia ragu dengan maksud
ucapannya.
“Aku merasa
saat aku melihatnya aku pasti akan mengenalinya. Aku akan mengenal ibuku saat
aku melihatnya. Lalu...” Kalimatnya terhenti.
“Lalu?” balas
pria itu singkat, tatapannya tidak bergeming ke mata gadis itu.
“Seharusnya
ibuku akan mengenaliku juga saat dia melihatku.”
“Kau tampak
ragu-ragu, bagaimana jika dia berpura-pura tidak mengenalmu saat melihatmu?”
“Hah? Apa
maksudmu?” Suasana hati gadis itu makin kacau, dia marah. Dia hendak
menghempaskan tangan pria itu, namun gagal dia tidak mempunyai tenaga—bahkan
tangannya tetap di posisi yang sama.
“Bukankah kau
itu dibuang? Ibumu dan ayahmu sudah tidak menginginkanmu,” balas pria itu datar.
“Ini hanyalah
pertanyaan simpel. Apa kau lahir karena kau diinginkan? Kenapa kau
ditinggalkan? Bukankah ibu dan ayahmu meninggalkanmu sendirian karena dia tidak
menyukaimu? Ingatlah gadis kecilku yang manis, kamu itu anak haram,” ucap pria
itu sembari menguatkan cengkeraman tangannya.
“Ti-da—ak. Itu
tidak mungkin, pasti itu tidak benar.” Ucap gadis itu patah-patah, matanya
mulai berkaca-kaca.
“Dilahirkan itu
bukan hal yang istimewa, di dunia ini kelahiran adalah hal biasa dan tidak
boleh dihitung sebagai sebuah keberuntungan. Kematian itu pasti? Lalu kenapa
kau hidup? Apa itu karena seseorang menginginkanmu? Siapa yang menginginkanmu?
Apa tujuanmu untuk hidup?”
“Apa maksudmu?”
“Semua orang telah
meninggalkanmu. Hanya tersisa kamu seorang. Percayalah denganku, maka kamu akan
mengerti maksudku,” Ucap pria itu sambil menaruh tangan kirinya di tangan gadis
itu.
“Kamu tahu Fira?” kata
pria itu sambil mengelus lembut tangan gadis itu.
“Hanya dengan satu sebutan manusia bisa membunuh, hanya
dengan satu julukan manusia bisa takut. Dan lagi, hanya dengan kata anak haram
semua orang bisa meninggalkanmu.” Ujar pria itu sembari mengangkat sedikit
tangannya.
Komentar
Posting Komentar