Luluk Minatul Maula
Aku selalu suka keramaian meski di sana harus sendirian. Alih-alih merasa bingung, justru kedamaian yang kurasa. Dengan hiruk-pikuk kendaraan, kebisingan suaranya, dan semua bentuk kepadatan itu, menyenangkan bagiku. Terkadang, semua itu kutemukan saat duduk di bangku taman dengan orang asing bermodal senyum dan anggukan, atau ketika naik komedi putar dan melambaikan tangan seolah punya kenalan, atau mengunjungi food court berbekal segelas es teh tawar untuk diam selama berjam-jam. Aku cukup berani melakukan semua itu sendiri sampai sebuah cerita mampir dan menjadi memo dalam hidupku.
Meski kamu baik-baik saja setelah kehilangan, sebenarnya dapat kamu pertahankan jika kamu tidak sendirian.
***
“Aku ke pasar malam dan akan pulang sebelum lampu mati, tolong sampaikan kalau perlu.”
Gadis bertubuh kecil itu berucap lirih pada adiknya di ruang tamu sambil mengenakan kaos kaki, mengambil sandal yang hampir putus saking lamanya terpakai, kemudian bangkit, memastikan adiknya mendengar ucapannya.
“Kenzie, dengar? Nanti kubawakan jajan.”
Adik yang nyaris sebaya dengannya itu mengacungkan jempol, “Hati-hati jajanku tumpah, Kak!”
Mendengar itu cukup untuk membuatnya diselimuti rasa tenang untuk menutup pintu dan mengeluarkan sepeda antiknya dari garasi. Tubuhnya yang berbalut hoodie set warisan adiknya disambut embusan angin yang cukup menusuk begitu keluar dari pagar. Ia pelankan kayuhannya untuk mengurangi hawa dingin yang sukses meremangkan bulu kuduknya.
Jarum jam masih di angka delapan, tapi tak ada bapak-bapak yang biasanya mengepulkan asap di pos-pos ronda atau tawa riang anak kecil yang bermain petak umpet. Ditambah lagi, malam ini bulan tampak malu menunjukkan sinarnya. Pun dengan pedagang keliling yang entah di mana keberadaannya. Sebuah desas-desus pernah ia dengar, perumahan ini memang ideal untuk para pensiunan, tentu mereka lebih memilih meringkuk dalam tebalnya selimut, alih-alih beraktivitas di luar. Nyatanya, kali ini hanya kayuhan sepeda antiknya yang memenuhi jalanan komplek, ditemani cahaya lampu tenaga surya di beberapa titik.
“Kala!”
Suara yang diiringi deru motor itu membuatnya menoleh meski itu bukan namanya, tapi, siapa lagi? Hanya orang ini yang memanggilnya dengan nama itu, menghilangkan satu suku kata dari nama pemberian ibunya yang kini mungkin sudah memberi nama pada anaknya yang lain di tempat antah-berantah sana.
Kiki, si pemilik suara yang tak asing baginya. Pertemuan pertama mereka adalah belasan tahun silam di lapangan upacara sebuah taman kanak-kanak, Kiki mengulurkan tangannya pada Kalila yang menyendiri di baris paling belakang karena salah seragam. Lulus dari sana, mereka tak saling sapa selama hampir satu dasawarsa, hingga takdir mempertemukan mereka kembali 6 purnama silam pada pasar malam tahunan diselenggarakan pemerintah.
“Pasti pasar malam, lagi kan?”
Pertanyaan retoris itu menggelitik perut Kalila. Ritme yang selalu terjadi sejak itu, jika salah satu dari mereka menemukan informasi diselenggarakannya pasar malam di kota mereka.
“Beli cruffle seperti biasanya, kan?”
“Tentu, tapi aku bosan cokelat. Aku mau red velvet malam ini.”
Gadis dengan nama asli Kalila itu mengendikkan bahunya dan melanjutkan kayuhannya yang sempat terhenti karena panggilan itu. Terdengar suara motor Kiki yang menderu keras karena melaju dengan kecepatan rendah, mengiringi laju sepeda antik Kalila.
“Malam ini lagu apa yang menyumpal telingamu?” tanya Kiki, mengimbangi suara yang hanya dihasilkan oleh kendaran mereka.
Kalila menurunkan laju sepedanya perlahan hingga berhenti.
“Belum.” Balas Kalila dengan cengiran, sedangkan Kiki ternyata sudah beberapa meter di depan karena tidak mengurangi laju motornya sama sekali. Dikeluarkannya MP3 berukuran 10x2 cm dari saku celananya, menekan beberapa tombol, dan kembali memasukkannya.
“Playlistku selalu dimulai sama Wish You Were Here-nya Neck Deep.” Ucap Kalila setelah berhasil menjajarkan sepedanya.
Kiki menoleh sekejap. “Nggak urut abjad?”
“Urut, gini lho, aku mau lagu ini selalu jadi yang pertama kudengar tapi nggak mungkin kalau dilihat dari abjad pertamanya, jadi aku ubah saja judulnya. Kalau kamu buka micro sd-nya judul laguna akan jadi A Wish You Were Here-Neck Deep.”
Tawa Kiki pecah. Motornya mendahului sepeda antik yang dikendarai Kalila menyusuri jalan yang ramai oleh suara klakson serta cahaya lampu kendaraan yang berlalu-lalang. Jalanan yang frekuensinya sangat tinggi hingga 500 meter ke depan, dipenuhi gedung-gedung menjulang dan berjajar rapi dengan lampu-lampunya yang dibiarkan menyala di beberapa lantai, serta banyaknya pedagang menghiasi trotoar pun turut meramaikan jalanan malam ini.
Alih-alih percakapan, mereka hanya menikmati segala yang disuguhkan oleh kota.
Pasar malam kali ini, Kiki yang lebih dahulu menemukan informasinya. Dia baru menghubungi Kalila dua hari yang lalu. Hal yang sedikit ngawur, mengingat betapa protektif ayah Kalila. Beruntung karena lokasi yang tak jauh, hanya berjarak 15 menit dari rumah Kalila, memudahkannya dalam perizinan,
Kiki mengarahkan kendarannya berbelok ke kiri, diikuti Kalila yang tertinggal 50 meter di belakang. Dari ujung belokan, tampak jelas tempat yang menjadi tujuan mereka dihiasi lampu berjuta warna, khas pasar malam. Keduanya menuju tempat parkir yang berbeda dan akan bertemu di pintu masuk tanpa ada kesepakatan sebelumnya.
“Beli minuman dingin dulu, Kal!” ajak Kiki, tangannya menunjuk kedai minuman terdekat.
Ucapan tersebut belum mampu mengambil atensi Kalila yang pandangannya tertuju pada sesuatu di depannya. Terlebih keriuhan sekitar jelas menelan suara Kiki.
Kiki berdecak, perasaan mah pasar malam gini-gini aja.
Jika kalimat itu Kiki ucapkan keras-keras, Kalila pun tak akan menyanggahnya. Ia memang tak punya alasan untuk selalu seperti ini setiap melewati pintu masuk pasar malam, memandangi kerumunan orang dengan beragam usia, warna pakaian, pada setiap wahana maupun food court. Antrean yang mengular pada wahana semua usia, seperti bianglala yang menjadi ciri khas pasar malam itu sendiri dan photoboth yang baru saja menjadi tren semua kalangan —terlihat dari anterannya yang tak pandang usia— akhir-akhir ini. Pun juga antrean yang memendek pada wahana ekstrem, seperti rumah hantu dan kora-kora tak pernah sepi dari teriakan.
“Seperti biasa!” ujar Kalila riang menunjuk wahana yang akan menjadi tujuan pertama mereka.
“Nggak.” Jawab Kiki pendek, suaranya redam karena wajahnya menghadap arah lain dari lawan bicaranya.
Kalila menoleh, mendapati Kiki yang memalingkan wajahnya. “Kok nggak? Terus apa? Awas kalau jawabanmu nggak tahu! Jawaban itu cuma bikin kita nggak dapat apa-apa selain kaki yang pegal meski di sini sampai larut.”
Helaan napas Kiki terdengar oleh Kalila seperti sedang mengontrol dalam dirinya. Tinggi mereka yang terpaut 20 centimeter itu membuat Kiki perlu sedikit menunduk untuk memberi paham temannya yang salah tapi tidak merasa dan bahkan mengomel ini.
“Aku haus, beli minuman dinginnya sekarang saja.”
“Oh, ayo kalau gitu. Keburu makin ramai antrean komidi putarnya.”
Kalila memimpin langkah menuju kedai minuman dengan keramaian paling wajar dan bergegas memesan, dua gelas minuman bubuk rasa bubblegum. Melihat pesanannya mulai di-blender, ia berbalik, matanya menjelajah karena tidak mendapati teman Kiki di sampingnya. Pencarian Kalila berhenti ketika matanya bertatap dengan mata lebar Kiki yang menajam. Sosok yang ia cari ternyata berada pada kedai yang sama pada sisi yang lain.
Kalila melambaikan tangannya, meski heran atas tatapan tajam Kiki padanya yang tidak ia tahu alasannya.
“Ning, pesanannya.” Ucap penjual itu. Dua gelas pesanan Kalila memenuhi tangan renta penjual tersebut. Cincin yang ada pada jari manis tangan kanan wanita paruh baya itu menarik perhatiannya. Seperti cincin yang dulu ia lihat di selasar dagangan depan sekolah dasarnya.
Pasti anak perempuannya yang memakaikan cincin biru laut itu ke jemari tangan ibunya sebelum pergi bekerja setiap pagi buta.
“Ibu, itu cincin anaknya, ya.” Ujar Kalila sembari menyerahkan uang lebih, sengaja mengulur sedikit waktu.
Penjual wanita itu tersenyum tipis yang menyiratkan bangga begitu tebal. “Anak saya, Ning. Selalu begitu kalau berhasil punya barang yang dia mau, dikasihkan ke ibunya.”
Transaksi selesai dengan senyum Kalila setelah penjual itu menyerahkan kembalian tak sampai satu menit kemudian. Kiki sudah berada di sampingnya saat ia berbalik.
“Sama saja, ya!” Kalila menyerahkan salah satunya, yang ada di tangan kanan dan Kiki menerimanya tanpa berkata apa-apa. Entah ada apa malam ini, untuk pertama kalinya mereka tak memperebutkan porsi yang lebih banyak.
“Jadi naik komidi putar, Kal?”
“Lain kali saja, Ki. Sekarang kamu mau naik apa?”
Telunjuk Kiki mengarah pada wahana yang pernah Kalila takuti selama 10 tahun hidupnya. Anggukan Kalila membawa keduanya melangkah antre pada loket bianglala yang luar biasa panjangnya. Baru 15 menit kemudian giliran mereka tiba. Tak berselang lama, setelah penuh wahana mulai berputar.
“Kamu tahu, Kal, tadi waktu kamu marah-marah, menyebutku tidak punya tujuan, aku sudah bilang dari lima menit sebelumnya kalau aku mau beli minuman dulu.”
Kalimat tersebut keluar dari mulut Kiki dengan suara rendah membuyarkan perhatian Kalila pada gemerlap pasar malam yang kini sudah berada di bawahnya. Kini netra cokelat terang yang terbungkus oleh kelopak sipit Kalila bertatap dengan netra hitam pekat Kiki dengan pandangan yang sama-sama tidak bisa diartikan, apa yang sedang mereka simpan.
“Kamu tahu, Ki, matamu selalu mengingatkanku pada ibu. Dia juga mempunyai mata lebar berkelopak ganda yang dinaungi bulu mata tebal dan alis tipis, persis sepertimu. Tapi ucapanmu barusan persis sekali dengan yang sering ayahku ucapkan.” Selarikan napas memutus ucapan Kalila sejenak. “Bedanya, aku nggak sempat marah kalau sama ayah.”
Tatapan Kiki yang tak lagi tajam itu kini menerawang, mencari berkas ingatan tentang sosok ayah dan ibu Kalila untuk menampilkan rupa mereka dalam benaknya. Sepersekian detik kemudian baru ia sadar, bahwa yang sedang ia ingat tergambar secara proporsional rata pada sosok kini bertatapan dengannya, minus mata yang tinggal segaris ketika sedang tersenyum. Mungkin itu ia dapat dari garis kakek-neneknya.
Ras Malayan dari ibunya tergambar sempurna pada bentuk muka dan tubuhnya yang mungil sementara dari ayahnya ia mewarisi kulit kuning langsat. Mengenai wataknya yang tidak bisa menolak dan murah senyum itu pasti terbawa ibunya yang nyel Jawa.
“Pak Adi gimana kabarnya, Kal? Namanya pasti membawa pengaruh tangguh padanya.”
Kalila tersenyum mendengarnya, Kiki selalu berhasil mencairkan suasanya yang beku.
“Ya begitulah, Ki. Lagi-lagi sesuai namanya, dia masih sering keukeuh menentangku yang memintanya untuk tidak bekerja terlalu berat. Orang tuamu sehat?”
“Lihat saja tubuhku.” Kiki menepuk-nepuk lengan padatnya yang tak kaos tipis tak berhasil menyembunyikannya.
Sejumput obrolan tersebut —yang setengahnya didominasi keheningan— menghabiskan waktu satu kali permainan bianglala karena tiba-tiba saja wahana sudah berhenti berputar. Begitu giliran sangkar mereka sampai di tanah dan pintu terbuka, tangan Kiki menunjukkan telunjuknya —isyarat atas dirinya yang akan naik satu putaran lagi— tak lupa dengan bantuan senyum Kalila. Petugas wahana hanya mengangguk dan menggilirkan pada sangkar berikutnya.
“Ki…” Kalila menghentikan ucapannya, menunggu hingga Kiki menoleh, hingga ia dapat atensi sepenuhnya, “Mungkin nggak, kalau Sekara Esquier sampai ke ibu? Aku suka baca tulis kan, juga karena dia.”
Belum sempat Kiki rancang jawaban dalam kepalanya, Kalila melanjutkan. “Sampai kapan ayah perlu diyakinkan kalau aku, perempuan yang tersisa dalam hidupnya, tidak akan meninggalkannya seperti ibuku dan ibunya dulu? Itu, Ki, itu alasanku tidak pernah mendebat keras kepalanya menjadikan anaknya dokter yang hanya bisa diwujudkan olehku karena Kenzie sudah terlanjur menghabiskan cintanya pada dunia kamera.” Mata Kalila berkaca-kaca di ujung kalimatnya dengan deru napas yang mulai tidak dalam kontrolnya.
Bianglala mulai berputar, memberi jeda waktu bagi keduanya, menenangkan Kalila yang kalut dan menjernihkan pikiran Kiki. Sangkar mereka sampai pada pucak ketinggian ketika Kiki mulai buka suara.
“Kal.” Ucap Kiki dengan nada memohon, agar keduanya dikuatkan menyelesaikan percakapan malam ini dengan happy ending. “Menulis adalah sebuah keberanian dan menulis adalah bekerja untuk keabadian, ingat? Aku bahkan menyingkirkan komik-komikku berminggu-minggu untuk menemukan feels dalam kalimat idolamu itu, aku paksa baca bukunya meski ujungnya tetap saja sama, ketiduran.”
Kalila memberi seluruh atensinya pada kalimat Kiki, dengan harap akhir adalah solusi.
“Sekara Esquier sudah jadi dunia yang kamu percayakan pada aksara untuk memberinya nyawa, membuatnya sampai mana-mana. Bukankan kamu yang sering mengatakan sudahlah, percayakan saja pada cara semesta memberi jawabannya, kita sudah bekerja.”
Kalimat yang Kiki ucap dengan segenap hati-hati itu sempurna mencongkel kesadaran atas tujuan awal Kalila menciptakan Sekara Esquier, dunia maya yang ia percaya mampu membawa keajaiban nyata untuknya. Keinginan Kalila berucap terima kasih tertahan melihat Kiki yang justru mengulum senyum.
“Ki?”
“Asal kamu tahu saja, Kal, ingin rasanya aku unggah satu foto waktu kamu melamun menatap pasar malam dari kejauhan, dengan caption ‘Iya, ini Sekara Esquier yang tokoh-tokohnya selalu diceritakan dengan kesepian yang begitu mencekam’”
Pembahasan tentang karya selalu berhasil membantu Kalila mengontrol suasana hatinya. “Boleh kamu lakukan itu kalau kamu bisa bikin aku mengangguk setuju dengan alasanmu mengatakan itu.”
“Lah, memang aku bilang apa?”
“Kamu seakan bilang kalau keduanya nggak nyambung.” Kalila mengangkat sebelah alisnya.
Cerita-cerita yang kesepiannya begitu mencekam ditulis oleh penulis yang senangnya datang ke pasar malam.
Senyum merekah Kiki menjadi jawaban terjelas dan terringkas atas tantangan Kalila. “Coba ku dengar alasanmu saja!”
Kalila terlihat berpikir sejenak. “Asal nggak kamu jadikan caption.” Kelingking kanan Kalila menuntut jaminan. Tawa renyah Kiki terdengar seiring dengan kelingkingnya menyambut kelingking Kalila.
Putaran wahana terasa berkurang lajunya, dan benar, belum sempat Kalila berucap sangkar mereka sudah sampai di paling bawah. Keduanya menghadiahi petugas yang masih sama dengan senyum yang sama ketika minta putaran selanjutnya tadi. Keduanya kembali menuju loket, bertransaksi atas putaran mereka yang kedua.
“Pusing ternyata lama-lama.”
Celetukan tersebut disambut tawa Kalila, memunculkan matanya tinggal segaris saja. “Pernah naik komidi putar 3 putaran nggak berarti apa-apa ternyata.” Pecah pulalah tawa Kiki setelahnya.
Mereka melangkah lambat menyusuri pasar malam, kali ini tidak ada tujuan apa-apa dalam kepala keduanya. Bahkan tak satupun dari mereka sadar atas kedua tangan yang kosong karena mereka meninggalkan minuman mereka —yang sama sekali belum berkurang— pada sangkar bianglala tadi. Suasana terasa lebih ramai dari sebelum mereka naik wahana tadi.
“Di rumah aku nggak selalu bisa paham mauku, Ki, karena dominasi ayah di kepalaku. Pikiranku selalu berputar pada bagaimana ayah senang dan tenang. Dan, Ki, aku dapat jawaban atas pertanyaanku sendiri tadi, sampai kapan? Sampai ayah percaya. Itu artinya akan jadi pekerjaanku seumur hidup, sebagaimana ayah menjadi ayahku, ya, selama itu.” Ucapan Kalila yang terhenti membuat Kiki turut menghentikan langkahnya.
“Terus?”
“Coba terusin! Tapi sambil jalan, di pasar malam ini nggak kamu doang yang datang.” Ucap Kalila tanpa berusaha menahan nada kesal dalam suaranya.
Kalila meneruskan langkahnya, meninggalkan Kiki yang tetap diam dengan kening berkerut. Angin malam kembali berembus, membawa hawa menusuk yang tak berkurang meski kepadatan bertambah, mengingatkan Kalila untuk melihat waktu.
Pukul 20:50.
Begitu yang ditunjukkan jam tangan Kiki yang pemiliknya sudah menjajarkan langkah dengannya.
“Kita pulang 10 menit dari sekarang.”
“Kok cepat, Kal?”
“Memang biasanya berapa lama?”
“Biasanya cukup buat naik komidi putar dua putaran, beli makanan sama minuman, bahkan waktu itu aku sempat beli aksesoris buat Disha di rumah. Oh, iya, bukannya waktu itu mau coba photoboth?”
“Kesempatan depan, Ki. Ini sudah habis satu jam seperti biasanya. Cepat, kamu mau lanjutkan ucapanmu atau tidak? Aku ada janji beli jajan buat Kenzie.”
Gemerisik langkah mereka kalah oleh kebisingan, percakapan mereka pun sedikit redam olah ingar-bingar. Kendati 6 purnama telah berlalu, keramaian semacam ini belum menjadikan Kiki terbiasa, satu dua kali ia perlu mengedipkan mata untuk mengembalikan fokus yang acap terpencar.
“Aku nggak nemu korelasi antara keramaian pasar dengan kebingunganmu sendiri di rumah yang tenang. Karena biasanya yang terjadi justru sebaliknya.”
“Nah, itu, Ki! Rumahku memang tenang, tapi aku dan ayah nggak selalu sejalan pemikiran. Aku perlu sesuatu untuk mengisi kepalaku agar tidak selalu tentang Kalila dan benang kusutnya.”
“Sesuatu itu adalah pasar malam?”
“Ya, kebetulan saja waktu itu.” Kalila mengangguk. “Eh, Sekara juga dong. Bedanya aku justru membuang isi kepalaku di sana.”
“Kal, aku mau nulis di sana.” Ucap Kiki setelah hening beberapa lama.
“Nggak usah, nanti kubuatkan cerita tentang malam ini. Yang penting ada kamu, kan?”
Tak bisa lagi Kiki sembunyikan senyumnya, tangannya terangkat mengacak tudung hoodie yang menutupi kepala Kalila. Beruntung gadis itu tetap sibuk dengan MP3-nya sehingga tak menatap mata Kiki yang penuh dengan sirat kagum.
Gadis itu punya sosok ayah berwatak tegas yang berubah menjadi keras ketika sosok ibu dan istri pergi dari kehidupan mereka.
Ayah memang egois, Ki, memaksa sesuatu pada sosok yang dia nggak tahu bagaimana kemampuan orang itu. Tapi aku paham, kemauan ayah yang tersisa adalah menjadi ayah yang baik, dengan menjadikan anak-anaknya berhasil.
Kalimat itu terngiang di kepala Kiki bersamaan dengan timbunan pertanyaan akan dari mana datangnya pemahaman sebaik dan setulus itu.
Mungkin aku perlu banyak-banyak baca buku Pram atau Nh. Dini sepertinya.
***
Cerpen karya Luluk Minatul Maula ini mendapatkan peringkat di lima besar dalam Lomba Cipta Cerpen FELSI oleh Kemendikbud tahun 2023.
Komentar
Posting Komentar