Langsung ke konten utama

Komir Bertemu Nabi

 Badra D. Ahmad

Apakah kalian percaya jika kuceritakan seorang tua berumur tujuh puluh tahunan yang mudanya adalah preman dan sekarang sedang mencari bagaimana caranya bertemu Rasulullah?

Cerita ini kudapatkan dari kiai Hasan, seorang kiai yang mengasingkan diri selama bertahun-tahun, yang kakaknya merupakan kiai besar suatu pesantren. Beberapa kiai menganggap bahwa Kiai Hasan mengambil “jalan” yang berbeda. Tapi hal itu tidak membuatku ragu sedikitpun. Karena beliau merupakan kakak kelasku sewaktu mondok dulu.

Di sini, Jombang, aku adalah menjadi perantaranya dengan dunia luar. Kehidupannya yang selalu di dalam sebuah gubuk yang berasal dari kayu jati itu, mengharuskan seseorang abdi yang bisa membantunya berinteraksi dengan luar gubuk. Aku menjadi tangan dan kaki kiai Hasan.

“Lalu sekarang di mana orangnya, kiai?”

“Dia sedang berjalan kaki menuju jawa barat, kusuruh dia untuk berziarah ke Syeikh Syarif Hidayatullah. Aku tadi jamaah bersamanya di masjid Maulana Ibrahim. Sudah sampai Tuban dia.”

“Oh begitu kiai, sudah hari ke berapakah dia berjalan dari sini?”

Lalu kiai Hasan beranjak untuk takbiratul ihram dan belum menjawab pertanyaanku yang terakhir itu. Aku sudah tidak lagi kaget jika barang waktu kiai Hasan tiba-tiba mendirikan salat atau tiba-tiba berteriak membacakan suatu ayat atau tiba-tiba marah atau menangis atau diam saja seharian. Aku menunggu beliau menyelesaikan dua rakat itu.

Selesai salam, beliau langsung memalingkan wajah beliau ke padaku dengan warna muka yang sulit digambarkan. Bila ada suatu warna yang bisa menggambarkan kondisi ini, mungkin itu warna ungu, biru tua, hitam, dan putih. Bukan suatu warna yang dicampur dari kesekian warna itu. Namun lebih seperti lukisan Affandi yang cat per warnanya ditarik tanpa banyak mencampuri warna lain. Seperti ketika kau memandangi sebuah langit setelah kau merasa ketakutan dan kebingungan, dan disaat yang bersamaan kau melihat bintang-bintang bisa sejenak mengalihkan perhatianmu dari ketakutan dan kebingungan itu. Nah iya seperti itu kira-kira. Aku mohon maaf jika kalian masih bingung dan tidak dapat mengerti apa maksudku.

Kemudian tatapannya yang serupa gemintang yang kubicarakan tadi, sedikit lebih membawaku pada ketenangan. Dan berikutnya beliau mengeluarkan kata-kata yang baru kali ini aku kaget mendengarnya. Pelan, dan pelan, pelan sekali. Air mata beliau mengalir, melintasi pipi yang keriput, sedikit membelai kumis hitam keperakan. Seperti hulu yang kembali muncul airnya, melewati lembah dan membentuk sungai baru pun membasahi sungai lama, memberi makanan bagi rumput-rumput dan batang pohon yang tumbang.

“Preman itu meninggal,” Kiai Hasan seperti mengambil sedikit jeda untuk bisa kembali melanjutkan kata-katanya.

“dan Rasulullah sempat mendatanginya untuk memberinya salam. Namanya Komir, dan orang-orang pasti tidak ada yang tahu siapa nama dan kerabatnya. Kau harus ke sana, dia meninggal di musala kecil dalam suatu pasar di Tuban. Beri tahu orang-orang itu namanya, rawat jenazahnya, dan pastikan ia terkubur dengan baik. Doakan ia sebelum kau meninggalkan makamnya.”

 

Tunggu kiai tunggu. Kali ini aku benar-benar sangat sulit mencerna seluruh perkataan kiai Hasan dengan baik. Dan berantai kata-kata beliau tadi pastilah membuat akalku beku sejenak. Tapi bukan berarti aku tidak mendengarkan dan melupakan apa saja yang beliau katakan.

Aku terdiam sebentar.

Kiai Hasan juga membiarkan aku terdiam sebentar. Aku kemudian mengulangi perkataan kiai Hasan yang tadi sebagai responku menerima informasi dan memastikan bahwa semuanya benar.

“Iya.” Kiai Hasan menjawab.

***

Sebuah aforisme berkata bahwa jangan pernah tanyakan lagi perintah sebuah kiai. Pertanyaanmu itu sendirilah yang akan membuat perintah itu lebih rumit. Seperti saat bani israil diutus oleh nabi musa untuk mencari seekor sapi betina. Dan mereka gagal karena pertanyaan mereka membuat tugas mereka menjadi lebih mustahil dilakukan. Aku mencoba untuk tidak menjadi salah satu sifat bani israil itu. Dan tiga jam yang berada di bis itu dengan pikiran abstrak sangatlah mengganggu. Bayangkan saat kau berada dalam sebuah perjalanan yang kau tak tahu pasti ke mana tujuanmu berakhir. Perintah yang kau dapatkan sangatlah menyerang logikamu sendiri berkali-kali. Kau hanya bisa berkata pada logikamu, berhenti berpikir dan mulai mencari pasar yang ada.

Keputusan pasar mana yang akan kuhampiri pertama adalah kuberikan kepada seorang tukang becak.

“Pak, ke pasar berapa?”

“Pasar yang mana?”

“Mana saja.”

“Dua puluh.”

“Baiklah.”

Selama tukang becak itu mengayuh becaknya, selama itu pula aku berpikir apakah pasar yang kuhampiri ini  memang yang benar. Aku sedikit menyesal kenapa tidak bertanya dulu kepada tukang becak itu apakah ada orang yang meninggal di situ, atau setidaknya bertanya apakah ada musala di pasar itu. Tapi lagi-lagi ada pikiranku yang berkata, jangan bertanya. Tunggu, tapi ini kan bukan pertanyaan untuk memperjelas perintah. Pertanyaan yang ini menurutku akan aman-aman saja bila kutanyakan. Dan sebelum aku sempat untuk menanyakan pertanyaan itu, perjalanan yang aku lakukan ternyata sudah selesai.

Pasar di depanku adalah pasar yang berada di antara persimpangan. Sangat berada di kota dan sangat ramai. Kali saja aku langsung bertanya ke tukang parkir untuk bisa memperoleh informasi yang aku butuhkan. Kuhampiri tukang parkir yang ada di luar pasar itu dan jawabannya bukan seperti yang aku harapkan. Kupikir, mungkin dia seorang tukang parkir yang tidak pernah masuk ke dalam pasar sehingga tidak pernah terpapar informasi-informasi kepasaran.

Memang iya?

Aku masuk lebih dalam ke pasar dan mencoba mencari musala pasar itu. Tidak mungkin pasar sebesar ini yang berada di pusat kota tidak memiliki musala. Rambu-rambu dari pedagang buah dan penjual baju-baju eceranlah yang membawaku ke musala yang berada di pojok dalam bagian pasar.

Musala itu sepi. Seperti tidak tahu lagi aku akan bertanya kepada siapa terkait meninggalnya Komir. Aku palingkan badanku dari musala itu dan mencoba mencari pedagang yang berada paling dekat dengan musala itu. Dan yang kutemukan berada sehabis tikungan sepanjang lorong ini. Kupikir dengan pandangan yang terhalang tikungan itu akan menghambatnya untuk memperoleh informasi yang kucari ini. Tapi seperti mustahil berita kematian seorang preman tua di musala tidak akan menggemparkan seantero kota, minimal dalam lingkup pasar.

Pedagang itu tidak tahu. Dan aku pun tak tahu lagi.

Aku berjalan keluar pasar. Menyapu pandanganku di depan dengan pelan. Melanjutkan langkahku ke entah mana. Berhenti pada sebuah warung kopi kecil di tepi jalan. Memesan secangkir kopi hitam dan menyulut rokok.

Aku mencoba sebuah peruntungan dengan mengobrol sesama pengunjung warung kopi. Bukan langsung ke intinya, aku coba untuk perlahan masuk ke inti pertanyaanku itu. Perlahan tentang menwarkan sebatang rokok. Berbincang tentang rokok yang tiap tahunnya selalu naik harga. Mereka yang idealis terhadap selera rokok akan mengorbankan sebagian uangnya. Mereka yang masih memiliki rasa hormat pada uang akan memilih untuk lebih berkenalan dengan merek rokok yang sama sekali jarang terdengar namanya. Kemudian kita membahas pilpres dengan bekal ilmu politik kita yang bukan ada apa-apanya. Membahas bacapres mana yang jelas akan kalah karena partai koalisinya sudah tidak lagi dipercaya oleh rakyat. Dari pilpres aku sangkutkan pada sejarah gus Dur digulingkan oleh lawan politiknya. Kemudian pada nasib ormas sekarang ini yang kadang kala terpecah. Pondok-pondok yang dulu kuhuni dan kugali ilmu-ilmunya menjadi pembahasanku kemudian. Aku bilang pada mereka bahwa aku sedang diutus kiai Hasan untuk mencari seorang yang meninggal pagi tadi. Semua terdiam dan kupikir tidak ada yang tahu. Setelah perbincangan tadi yang cukup lama kita terdiam lumayan.

Sejenak kemudian ada seorang yang masuk ke dalam warung dan mengabarkan bahwa ada seorang yang meninggal di musala dalam pasar. Aku belum jauh dari situ. Aku berlari menuju pusat kabar. Aku kembali ke musala tadi. Aku membelah keramaian yang ada. Aku lewati jalan yang sudah kulalui. Aku tiba di musala dalam pasar itu.

Aku melihat seorang kakek dengan tato di leher dan punggung tangannya. Aku yakin itu adalah Komir. Aku mencari di sudut mana Rasulullah menyambut arwah Komir.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bianglala

Luluk Minatul Maula Aku selalu suka keramaian meski di sana harus sendirian. Alih-alih merasa bingung, justru kedamaian yang kurasa. Dengan hiruk-pikuk kendaraan, kebisingan suaranya, dan semua bentuk kepadatan itu, menyenangkan bagiku. Terkadang, semua itu kutemukan saat duduk di bangku taman dengan orang asing bermodal senyum dan anggukan, atau ketika naik komedi putar dan melambaikan tangan seolah punya kenalan, atau mengunjungi food court berbekal segelas es teh tawar untuk diam selama berjam-jam. Aku cukup berani melakukan semua itu sendiri sampai sebuah cerita mampir dan menjadi memo dalam hidupku. Meski kamu baik-baik saja setelah kehilangan, sebenarnya dapat kamu pertahankan jika kamu tidak sendirian. *** “Aku ke pasar malam dan akan pulang sebelum lampu mati, tolong sampaikan kalau perlu.”  Gadis bertubuh kecil itu berucap lirih pada adiknya di ruang tamu sambil mengenakan kaos kaki, mengambil sandal yang hampir putus saking lamanya terpakai, kemudian bangkit,...

PENDIDIKAN AKHLAK DALAM MEMBENTUK SIKAP NASIONALISME: STUDI KITAB ‘IZOTUN NASYI’IN KARYA SYAIKH MUSTHOFA AL-GHALAYAINI

       Pendidikan memiliki peran penting di dunia ini bahkan berpengaruh besar dalam proses perkembangan kehidupan manusia. Oleh karena itu pendidikan dalam kehidupan manusia menjadi kebutuhan penting yang bersifat mutlak, baik secara personal, keluarga, masyarakat, serta bangsa dan negara. Sistem pendidikan jika dilaksanakan secara optimal dan menyeluruh maka akan mencapai suatu kemajuan yang telah diharapkan, begitu sebaliknya bilamana dalam proses pendidikan tidak dijalankan secara optimal maka sulit untuk mencapai kemajuan atas apa yang diharapkan. [1]        Para pendidik diharapkan membekali peserta didiknya dengan akhlak, karakter, nasionalisme, dan pola pikir yang sejalan terhadap tuntunan Islam, itu adalah langkah yang sangat relevan untuk menjawab tantangan di era yang berkembang pesat seperti saat ini. Tujuannya adalah agar manusia memiliki kepribadian yang kuat, sehingga tidak sampai terjerumus ke jalan yang salah, karena m...

Di Antara Atas dan Bawah

Kezia Al-Shara Alunan gamelan berdenting lembut menyapu seluruh gundah gulana para penikmat paras ayu dan gemulainya lenggokan penari-penari pilihan malam ini. Lampu sorot tak membiarkan fokusnya terlepas, mengikuti kemana pun sang penari berlari kesana kemari. Semerbak wangi kasturi menguar dari rangkaian bunga asli yang tergeletak indah di atas kepala para penari. Pun dengan tubuhnya seakan sudah berendam dalam mata air suci penuh bunga tujuh rupa. Di sinilah Aku, di tengah panggung Pendopo Sanubaran. Menjadi pusat atensi hadirin tak terkecuali Gusti Pangeran Adipati Bagyo-raja dari Kesultanan Sanubaran. Dari seluruh penari yang ada di kota ini, Akulah yang paling sering dipanggil untuk menghibur tamu-tamu besar juga keluarga bangsawan yang sedang mengadaakan hajatan. Sampai akhirnya, Sekar Kinasih, namaku, sampai ke telinga Kesultanan Sanubaran. Aku diambil untuk menjadi penari inti milik Kesultanan Sanubaran. Mimpi seorang penari rakyat rendahan sepertiku akhirnya terea...